Pentingnya Alokasi Biaya Pendidikan Sejak Dini

Kamis, 22 Mei 2025

Pentingnya Alokasi Biaya Pendidikan Sejak Dini

MOMSMONEY.ID – JAKARTA. Pendidikan menjadi prioritas utama bagi keluarga. Atas dasar itu, dari data Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa salah satu kelompok penyumbang utama inflasi pada Agustus 2024 adalah sektor pendidikan, dengan angka inflasi sebesar 0,65% dan kontribusi terhadap inflasi umum sebesar 0,04%.

Di Indonesia, inflasi identik dengan kenaikan harga. Ketika membicarakan inflasi di sektor Pendidikan yang terlintas di benak para orang tua biasanya adalah kenaikan biaya Pendidikan. Hal itu menjadi sebuah topik yang selalu menjadi perbincangan hangat setiap kali memasuki tahun ajaran baru, seperti saat ini.

Benarkah inflasi di sektor pendidikan menjadi momok bagi para orang tua di Indonesia? Direktur BNI Asset Management, Ade Yusriansyah mengatakan, sebagian akan menjawab iya, terutama bagi mereka yang baru menyiapkan sebagian dana, masih dalam proses, atau bahkan belum menyiapkan dana pendidikan sama sekali. Sebaliknya, orang tua yang telah mempersiapkannya secara matang tentu tidak menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang perlu dikhawatirkan.

Lalu mengapa inflasi di sektor pendidikan terkesan menjadi sesuatu yang perlu diwaspadai oleh para orang tua di Indonesia? Langkah apa saja yang perlu diantisipasi untuk memitigasi dampaknya?

Ade mengatakan, untuk menjawab pertanyaan di atas, pembahasan dapat dimulai dengan membandingkan antara inflasi di sektor pendidikan dengan laju pertumbuhan rata-rata gaji atau upah. Berdasarkan laporan BPS, secara umum rata-rata biaya pendidikan di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.

Pada jenjang sekolah dasar (SD), biaya pendidikan untuk tahun ajaran 2017/2018 tercatat sebesar Rp 2,4 juta. Angka ini meningkat menjadi Rp 3,24 juta pada tahun ajaran 2020/2021, atau tumbuh sebesar 35%. Pada jenjang sekolah menengah pertama (SMP), biaya pendidikan naik 32% dari Rp 4,23 juta menjadi Rp 5,59 juta dalam periode yang sama. Sementara itu, pada jenjang sekolah menengah atas (SMA), biaya pendidikan meningkat sebesar 19% dari Rp 6,53 juta menjadi Rp 7,8 juta.

Yang cukup mengejutkan, lanjut Ade biaya pendidikan pada jenjang perguruan tinggi justru mengalami penurunan sebesar 6%, dari Rp 15,53 juta menjadi Rp 14,47 juta dalam rentang waktu yang sama. Jika dihitung menggunakan compound annual growth rate (CAGR) atau tingkat pertumbuhan tahunan majemuk, inflasi pendidikan pada jenjang sekolah dasar mencatat pertumbuhan tertinggi, yakni sebesar 10,5% per tahun, disusul oleh jenjang SMP sebesar 9,7% per tahun, dan jenjang SMA sebesar 6,1% per tahun.

Sementara itu, data rata-rata upah atau gaji yang digunakan merujuk pada periode Agustus 2021 hingga 2024, atau masa pasca pandemi COVID-19. Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik, rata-rata upah/gaji bulanan mengalami kenaikan dari Rp 2,73 juta menjadi Rp 3,27 juta, atau meningkat sebesar 19,4%. Jika dihitung pertumbuhan per tahunnya, maka diperoleh angka sekitar 6,09% per tahun.

Dari sederet angka tersebut, apabila dibandingkan dengan inflasi di sektor pendidikan, terlihat bahwa pertumbuhan rata-rata gaji atau upah masih berada di bawah laju pertumbuhan biaya pendidikan. Kesenjangan inilah yang perlu diantisipasi oleh para orang tua ke depannya.

Ade menambahkan, untuk menutup selisih tersebut, hal pertama yang perlu dilakukan oleh orang tua adalah mengubah pola pikir bahwa mempersiapkan dana pendidikan anak sedini mungkin merupakan sebuah keniscayaan. Dalam praktiknya, masih banyak orang tua yang melewatkan proses ini dan hanya mengandalkan kemampuan keuangan saat itu, menganut prinsip “gimana nanti” alih-alih “nanti gimana.”

Sebagian orang tua telah mulai menyisihkan sebagian kecil dari pendapatannya untuk kebutuhan biaya pendidikan, mengacu pada konsep alokasi keuangan seperti 50:30:20 atau 40:30:20:10. Kelompok ini tentu berada dalam posisi yang jauh lebih baik dibandingkan mereka yang sama sekali belum melakukan persiapan.

Langkah selanjutnya adalah memahami aspek-aspek dalam berinvestasi, seperti tujuan keuangan, profil risiko (agresif, moderat, atau konservatif), dan jangka waktu investasi. Pemahaman terhadap aspek-aspek tersebut diharapkan dapat memberikan panduan dalam memilih instrumen investasi yang paling tepat.

Jika ditinjau dari sisi profil risiko, individu dengan profil konservatif cenderung memilih instrumen investasi yang nilai pokoknya tidak berubah, meskipun imbal hasil yang diperoleh relatif terbatas, seperti deposito. Sementara itu, tipe moderat lebih memilih instrumen dengan kemungkinan perubahan nilai pokok yang terbatas, namun berpotensi memberikan imbal hasil yang lebih tinggi. Adapun tipe agresif memiliki toleransi yang tinggi terhadap volatilitas, dengan pertimbangan potensi upside yang lebih besar.

Dari aspek jangka waktu, penting untuk memahami rencana pendidikan anak, apakah hanya sampai jenjang sekolah menengah, sarjana, atau hingga gelar magister. Hal ini berkaitan erat dengan waktu likuidasi investasi.